>
konflik dan kekerasan Dolores Haze : konflik dan kekerasan

Future Machine

Tuesday, February 28, 2017

konflik dan kekerasan

(source: https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjO4dTxoKHSAhUJv48KHRONApcQjRwIBw&url=https%3A%2F%2Fwww.tumblr.com%2Ftagged%2FSWEET-SWEET-VIOLENCE&psig=AFQjCNG4Jvv9LYFq5npRrzU-VKXiOJYDlQ&ust=1487768595691250)


Isu kekerasan SARA di Indonesia sering kita dengar merebak di era 2000an-hingga kini. Bisa disebabkan karena kepentingan individual dan kelompok dengan melibatkan unsur politik, sosial, maupun ekonomi. 
Melibatkan unsur politik seperti misalnya dalam fenomena pemilihan kepala daerah. Melibatkan unsur sosial seperti misalnya dalam hal pertemanan. Dan melibatkan unsur ekonomi ketika penduduk lokal merasa 'dimonopoli' oleh pendatang.

Kekerasan makin parah kalau mandang SARA seseorang atau kelompok. Saking majemuknya Indonesia karena keberagamannya yang amat banyak, ada aja pasti individu atau kelompok yang pengen menyeragamkan sesuai pahamnya sendiri -__-
Kekerasan kan ada tiga macam, dari yang verbal, fisik, dan simbolik.

"Agamamu apa?", adalah salah satu kalimat yang kubenci. Karena dengan bertanya itu, lalu apa? Seakan agama itu jadi acuan seseorang dalam mandang orang lain. Judge perilaku terutama. Pantas jadi teman atau musuh. Sedih banget, cuma karena harus sesuai dengan agama tertentu, lantas agama lain nggak bisa terlibat :"" Padahal ya sama-sama manusia lho.... Masa udah 2017 masih lihat dari agama sama etnis nya aja?
Contohnya bisa dilihat lha waktu menjelang pemilihan gubrenur DKI tahun 2017 yang super heboh di medsos
http://www.liputan6.com/tag/demo-tolak-ahok
http://news.liputan6.com/read/2870772/imparsial-politik-itu-adu-gagasan-bukan-menebar-kebencian?source=search


Apalagi dengan adanya tulisan agama di ktp tu, eerrrggh, kadang bisa dapet perilaku diskriminasi. Aku nggak akan nyebut dimana aku mendapat perlakuan itu. Aku berharap banget semoga ktp bisa berubah formatnya nggak ada tulisan agama lagi :"

Sayang sekali, ada satu tokoh negeri kita yang pernah menyatakan opini yang berintikan status ekonomi warga Indonesia dilihat dari agamanya -_____- Nggak relevan, nggak ada hubungannya. Agama itu kepercayaan, kekayaan itu pencapaian usaha.
https://www.merdeka.com/peristiwa/wapres-jk-sila-ke-lima-pancasila-sangat-sulit-kita-laksanakan.html


Lalu, untuk perihal kaum minoritas dengan mayoritas. Semenjak aku TK-SMA disekolahkan di sekolah swasta Katolik, dan nggak merasakan menjadi minoritas bahkan mayoritas. Aku merasa ketika bersekolah di sekolah Katolik, nggak ada batas apapun dalam berelasi dengan siapapun. Aku nggak mikirin dia agamanya bukan Katolik, etnis apa, asal mana. Batas-batas yang sering diciptakan oleh society diluar sana seakan kabur, nggak berarti apapun. Karena aku melihat mereka sebagai manusia utuh, bener-bener manusia, bukan sebagai manusia Islam, manusia Dayak, manusia Klaten, dsb. 
Tbh, perubahan itu aku rasain ketika mulai kuliah di PTN. Aku sempet ngalamin culture shock karena perbedaan pemikiran teman-temanku. Bertahun-tahun di sekolah swasta Katolik, mencoba pengalamana baru di PTN (wes bersyukur banget ketrima PTN ini hehe). Yang dulunya masa bodo dengan isu politik dan sosial, sekarang jadi peka banget. Aku ketemu banyak manusia yang beragam dan terlihat jelas identitas simboliknya. Sebenernya aku benar-benar nggak masalah temenan sama agama atau etnis apapun, selama mereka nggak rusuh dan nggak nyakitin. Sebagai minoritas di tempat yang baru, aku jadi lebih mencoba memahami pola pikir mereka yang kanan dan kiri. Yang 'kayak gini' pasti gabungnya lebih sering sama teman yang sama kayak dia, yang 'kayak gitu' pasti juga sama yang gitu juga. Wes ketok lha pokoke. Ya itu hak mereka, masa ya diatur-atur. Sukur-sukur bisa membaur. Selama nggak kisruh sama neror ._.
Nah, aku sendiri bingung menggambarkan ideologi ku gimana. Secara kewarganegaraan, ya Pancasila. Tapi kalau secara individu, masih bingung. 


Kita tidak akan pernah bisa menemukan titik tengah perdamaian secara universal jika masih 'membela' atau memegang teguh agama atau kepercayaan milik kita sendiri tanpa membuka diri dan memahami terhadap hal lain yang berbeda dari yang kita yakini. Sebab zona nyaman itulah yang membuat kita sentimen dan bias terhadap isu kekerasan. Kekerasan dianggap bukan kekerasan jika objek tidak merasa tersakiti. Padahal toh kekerasan identik dengan hal yang menyakiti seseorang maupun kelompok secara verbal dan fisik, bahkan dapat menghilangkan nyawa. Susahnya itu adalah membuat orang memandang setiap permasalahan dari segi humanis universal, bukan sekedar identitas yang melekat di kita (agama, ras, suku, dll). Bukan karena dalih agamanya dia melakukan kekerasan, tapi harus mikirin dampak kemanusiaannya.



"Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan"

0 bird(s):

 
© Copyright 2009 by Patricia Krisnashanti l Jurnal Patricia l All rights reserved